Ada satu hal yang perlu diketahui oleh semua calon kepala daerah: begitu menjadi kepala daerah, Anda akan kebanjiran keputusan. Seorang kandidat kepala daerah mempunyai suatu kelebihan dibanding kepala daerah: ia dapat mengkritik orang sepuas-puasnya, namun tidak pernah merasakan tanggung jawab atau beban membuat keputusan yang berdampak pada orang banyak.
Seorang kandidat kepala daerah selalu bebas berandai-andai; sementara seorang kepala daerah selalu terikat untuk berbicara lepas, dan harus memperhitungkan segala konsekuensi kata dan keputusannya. Kemampuan yang paling penting dalam diri seorang kepala daerah adalah kemampuan membuat keputusan.
Literasi kepemimpinan mengenalkan adanya dua tipe pemimpin. Pertama, adalah tipe yang hands-off, yang lebih suka mendelegasikan kewenangan dan membuat keputusan sedikit mungkin. Pemimpin tipe ini lebih banyak mempercayakan keputusan diambil oleh bawahannya. Tipe kedua adalah pemimpin yang hands-on, yang ingin mengetahui permasalahan dan mengambil keputusan sebanyak mungkin, terutama keputusan strategis.
Dua tipe kepemimpinan itu memiliki kelebihan dan kelemahan. Pemimpin yang hands-on bisa terjebak dalam micro-management dan hilang keseimbangan. Sedangkan pemimpin yang hands-off bisa kehilangan kendali dan perspektif dalam pelaksanaan kebijakan, karena ia tidak mengetahui masalah-masalah teknis yang terjadi di lapangan. Karenanya, setiap pemimpin yang hands-on maupun hands-off harus mampu menjaga keseimbangan antara melihat “hutan” dan mengurus “pohon”.
Sejumlah kalangan berpendapat, di alam demokrasi, desentralisasi, dan globalisasi, tipe pemimpin hands-on yang paling cocok. Dalam mempelajari masalah, pemimpin yang hands-on harus memahami intisari permasalahan, namun juga harus mengetahui detail permasalahan. Dengan begitu, ia semakin memahami permasalahan dan bagaimana cara menyelesaikannya.
Pada awal pemerintahan, sebagai orang swasta yang terjun ke pemerintahan, Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Supian Hadi harus menghadapi masyarakat yang aneka ria. Ia juga harus menghadapi dan menjadi bagian dari birokrasi itu sendiri. Di lautan birokrasi seperti itu Supian Hadi akan seperti benda kecil yang dimasukkan dalam kolam keruh birokrasi. Di situlah tantangannya. Apakah birokrasi akan dengan mudah menenggelamkan mimpi-mimpi besar Supian Hadi di Kotawaringin Timur?
Dalam suatu perbincangan dengan SHD, short code Supian Hadi, saya menangkap sebuah penegasan bernada optimisme. Dengan latar belakangnya sebagai seorang pengusaha, SHD memiliki mimpi besar untuk memberi warna corporate culture dalam pemerintahannya. Ia sadar bahwa budaya kerja adalah unsur paling penting dalam setiap organisasi, baik LSM, bisnis, ormas, ataupun pemerintahan. Tentu ia sangat sadar menerapkan corporate culture pada birokrasi yang dikenal ruwet tidak semudah membalik telapak tangan.
Karenanya pada berbagai kesempatan di hadapan para birokrat, ia selalu mengatakan pentingnya perubahan pola pikir (mindset). SHD tahu benar bahwa kunci sukses pemerintahan tergantung pada kemampuan untuk membina budaya kerja. Komitmen untuk bersikap profesional, setia, dan menjaga integritas selalu menjadi penegas yang disampaikan kepada aparatur pemerintahan.
Apabila pemerintahan Supian Hadi dan Taufiq Mukri berhasil mengubah kinerja pemerintahan menjadi lebih baik, keberhasilan itu dapat dihitung dari ribuan keputusan skala besar, sedang, dan kecil yang diambil selama hampir lima tahun. Setidaknya, torehan-torehan perbaikan kinerja pemerintahan itu terpotret pada lompatan nilai APBD Kabupaten Kotim dibanding pemerintahan sebelumnya. Peningkatan anggaran tersebut telah menjadi pelumas bagi gerak akselerasi program pembangunan di Bumi Habaring Hurung. Lihatlah perubahan wajah Kota Sampit saat ini. Lihat pula investasi sektor ritel berskala nasional yang telah masuk. Semua itu merupakan buah dari pengambil keputusan.
Sebagai pengambil keputusan, satu keahlian SHD adalah membedakan mana informasi yang perlu direspons segera dengan instruksi dan tindakan, dan mana yang bukan. Beberapa kali, SHD harus “menyemprot” bawahannya yang birokrat karena membawa permasalahan yang belum matang. Ini bisa dipahami karena informasi yang belum cukup, sulit bagi dirinya untuk mengambil keputusan.
Dalam konteks tipe kepemimpinan, SHD bisa dikategorikan sebagai pemimpin bertipe hands on. SHD memandang detail sebagai bagian penting dari penguasaan substansi. Informasi detail permasalahan selalu ia tuntut untuk menyelesaikan persoalan.
Satu hal yang menjadi karakter SHD dalam mengambil keputusan adalah ia bisa mengambil keputusan kapan dan di mana pun, dan dalam kondisi apapun. Seringkali keputusan-keputusan itu dibuat dalam situasi nonformal saat berolahraga, berdikusi ringan dengan kolega, atau saat turun ke bawah menyapa warga. SHD juga sangat cepat menangkap esensi permasalahan. Kalau Anda menjelaskan sesuatu masalah, ia akan mendengar kata-kata Anda sambil membaca logika dan inti permasalahannya. Ketika pandangan, saran dan masukan yang diberikan dianggap layak untuk diimplementasikan, diam-diam ia membuat notulensi untuk didiskusikan bersama staf pemerintahan. (*penulis adalah praktisi media, tinggal di Balikpapan, Kaltim)