Oleh : Muhammad Said.***
Belakangan ini gunjang ganjing tentang toleransi sebagai sebuah persoalan klise kembali menyeruak dalam ranah publik bumi Indonesia yang multikuktural. Persoalan ini menyeruak kembali setelah sekian lama tatanana kehidupan masyarakat bangsa ini mengalami kemapanan (established) dalam bingkai bhineka tunggal ika (unity in diversity).
Keanekaragaman yang sejauh ini menjadi satu kekuatan yang mengikat solidaritas anak bangsa secara perlahan namun pasti mengalami kelunturan. Akibatnya, bukan hanya perbedaan itu dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kita dan mesti harus dikikis, tetapi juga membawa implikasi yang amat luas, menjdi kekuatan besar yang menyeruak menebarkan disintegrasi kehidupan anak bangsa.
Mereka berloma saling menghardik, menghasut dan bahkan menebar jaring pemecah persatuan karena perbedaan. Sisi oaradoksial ini membawa kita pada gagal mengerti dan paham bagaimana mungkin perbedaan itu mula justeru menjadi kekuatan pemersatu bumi nusantara ini, belakangan menjadi imstrumen pencabik persatuan dan kesatuan yang koloh, ada apa? Apakah kita ingin memecah persatuan dan kesatuan atas nama Tuhan yang telah dengan sengaja menciptakan perbedaan? Apakah kita mau menjadi gerbong mainstream yang siap melawan takdir Tuhan yang menciptakan perbedaan dengan segala hikmah yang tidak sia-sia?
Atau apakah kita ingin menunjukkan karakter greedy power (keserakahan kekuasaan) untuk melawan kehendak Allah yang telah menciptakan manusia dari seorang laki dan perempuan kemudian berkembang bika menjadi popukasi yang banyak, bersuku-suku, berpuak-puak, berbangsa-bangsa, berlainan bahasa; gunanya untuk saling kenal-mengenal satu sama lain.
Tidak seorangpun yang menyangka “dia” terlahir ke dunia berkulit hitam-berkulit putih, ada yang elok ada pula yang kurang elok dalam pandangan manusia; dan “dia” pun tidak menyangka lahir ditengah-tengah umat Islam, umat Kristen, umat Budha, Yahudi dan lain-lain kepercayaan. Perbedaan-perbedaan keyakinan itu menyiratkaan pentingnya arti, makna dan fungsi toleransi dalam menyikapi keberagaman dalam masyarakat.
Toleransi dalam konteks pemahaman yang sudah diwarnai greedy power (serakah atas kekuasaan) seolah menjadikan keberagaman yang ada menjadi “satu” pandangan sehingga terwujud toleransi. Pehaman dan hasrat demikian tidak saja berambisi menguburkan realitas sosial, ruang di dalamnya kita tumbuh, berkembang dan bergumul satu sama lain, juga tidak pula menunjukan arogansi kemanusiaan untuk melawan kehendak Tuhan, tetapi juga menunjukkan sikap hipokrit untuk menolak yang diyakini bathin kita.
Demikian mestinya kita memahami toleransi sebagai sebuah kiasan untuk tidak memaksakan keyakian Muslim dan menyamakannya dengan keyakinan seorang Katolik atau yang lain. Sebagaimana kaminkatakan di awal, keberagaman membawa potensi hikmah yang tidak harus kita paksakan. Sebab, secara teologis kita menyakini bahwa Tuhan tidak mencptakan keberagaman itu dengan sia-sia. Pun, seandainya Dia berkehendak untuk menyatukan yang beragam menjadi satu, bukanlah suatu yang mustahil bagiNya. Justifikasi teologis atas pandangan ini secara clear dapat kita pahami dari deklarsi bahwa:
“Dan kalau Allah berkehendak, niscaya “AKU” jadikan Manusia itu satu umat”.
Keberagaman dan pluralitas adalah kehendak Tuhan agar manusia menjadi mahluk madani atau civil society yang menghadirkan inklusivitas dalam keberagaman. Inklusivitas (keterbukaan) ditinjukkan dengan sikap tulis dalam mengapresiasi ke-yanglain-an (otherness) sebagai satu kekuatan untuk merajut interdependensi (saling ketergantungan), saling menyempurnakan kelemahan yangg melekat pada yang lain agar terwujud masyarakat utama (al mujtama’ al fadhal).
Oleh karenanya bila ada keinginan untuk memaksakan keyakinan kita agar diterima/disamakan dengan pihak lain adalah keliru dan berptensi besar menumpahkan darah di atas permukaan bumi nusantata yang muktikuktural ini.
Toleransi, dengan demikian, hanya dapat terwujud dari sikap lketerbukaan dalam menerima dan menghargai keyakinan yang diyakini kebenarannya oleh orang lain dan membiarkan mereka mengamalkan kebenaran yang diyakininya, tanpa kita intervensi untuk mengikuti dan mengamalkan nya. Sebab, Jika kita ikut dan mengamalkannya, maka toleransi tidak lagi diperlukan. (*Guru Besar dan Sekretaris Program Studi Program Doktor Perbankan Syariah Fakuktas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta)