MUHAMMAD SAID*
PEMBACAAN tentang realitas sosial, ekonomi dan politik yang berkembang di jagad global, khususnya di jagad nusantara menjadi hal yang menarik bagi banyak kalangan (Peneliti, akademisi, masyarakat umum).
Pembacaan realitas itu menjadi semakin menarik ketika ditarik dalam pusaran agama. Memang sejauh ini relasi agama dalam pembangunan sosial, ekonomi dan politik nenjadi perhatian luas.
Saudi – Spain Centre for Islamic Economic and Finance Perancis dalam kajian yang diselenggarakan dalam bentuk cofee talk dan formal seminar serta conferensi banyak membahas tema seputar mengembalikan peran agama dalam pembangunan sosial ekonomi.
Secara politis, nalar akademik dalam kaitan relasi agama dengan politik menjadi core kajian Pusta Studi Agama dan Politik di universitas UNITO Italy.
Tema-tema disajikan dalam diskusi harian dan event lain mengarah pada bagaimana mengembalikan light of religion as the pilar of political development and sustainable development, yang diilhami oleh fakta sejarah harmonisasi hubungan agama dan sains, agama dan ekonomi serta politik dalam masyarakat Eropa ketika peradaban Islam berkembang di Andalusia, Vercile, Granada dan beberapa wilayah lain di masa keemasan (golden age) Islam walaupun pada akhirnya mengalami kelunturan bahkan hilang dalam peredaran.
Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa kontribusi besar itu tidak mampu bertahan. Secara garis besar, faktor itu dapat dikalsifilasi dalam dua bagian, yiatu faktor Internal dan faktor eksternal.
Faktor eksternal berkaitan dengan dinamika dan perkembangan peradaban kelompok lain di luar umat Islam, dinamika pemilikiran yang positif mendorong mereka mampu melakukan recovery, inovation sekalipun sebagian hasil dari imitasi (peniruan) dari interaksi dan asimilasi dengan peradaban Islam.
Termasuk dalam faktor ini adalah hukum sejarah yang berlaku di mana setiap masa ada perubahan, tiap perubahan ada aktor yang melakukannya, tiap masa ada orang, dan tiap orang ada masanya.
Artinya, kemarin adalah masa kita menoreh kesuksesan, hari ini kesuksesan itu bukan lagi milik kita.
Demikian pedati sejarah memberi pelajaran kepada kita bahwa kehebatan kita di masa lalu tidak dapat terus menerus dipertahankan, karena faktor hukum sejarah yang menghendaki harus ada estafet.
Faktor internal muncul dari kalangan Muslim (bukan Islam). Sebagai agama yang haq (benar) ajaran Islam akan tetap sempurna. Apabila terjadi das sein und das sollen antara ajaran Islam dengan perilaku Muslim, maka permasalahan itu pasti muncul dari pemahaman yang keliru dalam penafsiran (interpretation) kehendak Tuhan yang diakal-akali untuk tujuan justifikasi kepentingan manusia.
Secara historis terbukti bahwa kemunduran umat Islam karena “cahaya Islam yang terang benderang hilang dari relung hati umat Islam, cahaya Islam ditutup oleh umat Islam”
hingga akhir abad 19. Akhir abad 19 awal abad 20 hingga kini upaya secara continuity untuk merekonstruksi terus dilakukan. Alhasil hari kita telah menyaksikan hasil yang menggembirakan.
Di tengah perkembangan kesadaran keberagamaan (awareness of religiousity) umat yang semakin baik dan solid, kerikil dan bahkan badai besar menghadang sehingga “clash of civilization” yang pernah dikemukakan oleh Islamolog Samuel Huntington menjadi sebuah fakta di tengah kehidupan komunitas global dan masyarakat Indonesia.
Hari ini kita menyaksikan realitas yang berkembang di altar kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta agama. Sebagian besar masyarakat Indonesia tengah menyaksikan dagelan politik, pada bagian lain mereka menjadi aktor yang memperkeruh suasana dengan menggunakan media sosial untuk menyebar berita-berita hoax.
Suasana demikian terus memanas sehingga ada kekhawatiran melahirkan anatema besar bagi perpolitik di Indonesia, yang berdampak terhadap pembangunan sosial dan ekonomi.
Dalam beberapa event yang berbeda, sepanjang kegiatan visiting research di Belgia, saya diundang menjadi narasumber dalam kajian ke-islam-an yang diselenggarakan organisasi masyarakat Muslim di Eropa, seperti Persatuan Masyarakat Muslim Indonesia Den Haag, Belanda, Persatuan Muslim Indonesia Bonn, Germany dan Keluarga Pengajian Muslim Indonesia Brussels, Belgium.
Walaupun kegiatan itu diselenggarakan di tempat yang berbeda, namun dalam sesi dialog muncul pertanyaan yang secara substantif sama walaupun secara redaksiksional berbeda.
Dalam Dialog di Den Haag tanggal 13 Januari 2017 pertanyaan yang muncul “bagaimana prediksi prospek ekonomi Indonesia dengan kondisi sosial politik tanah air yang sedang memanas?
Dalam dialog tanggal 15 Januari 2017 di Bonn Germany dipertanyakan bagaimana agama berperan dalam mengatasi gejolak politik dan ekonomi, dan pada tanggal 21 Januari 2017 dalam acara yang bertajuk sama muncul pula pertanyaan serupa.
Mengurai pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu memerlukan kehati-hatian, data dan fakta karena muatan pertanyaan walaupun dalam aspek ekonomi, namun tetap bersentuhsn dengan politik, talking economy is talking politic.
Ekonomi yang memiliki prospek yang baik ketika negara secara maksimal memanfaatkan potensi yang ada untuk kepentingan rakyat banyak, memiliki utang luar negeri yang semakin berkurang (debt rediction), tingkat pengangguran yang berkurang, lapangan kerja yang semakin terbuka untuk rakyat.
Variabel-variabel tersebut dapat dilihat dengan menggunakan, di antaranya statistik hasil Sensus Ekonomi Nasional yang benar-benar valid, steril dari muatan politok sehingga menjadi acuan yang valid.
Di negara-negara yang sudah memiliki tingkat ekonomi yang mapan dan sophisticated, namun negara tetap menyadari adanya kelompok yang masih dibawah level sejahtera sehingga negara membuka ruang lhusus untuk mereka dengan menggelar pasar murah dengan segala fasilitasnya.
Negara tidak hanya memungut pajak dari warganya, tetapi juga menfasilitasi kebutuhan yang diperlukan untuk pengembangan ekonomi rakyat.
Bahkan, yang lebih humanis, ketika penulis mengadakan observasi sebuah exhibition mobil mewah di bagian selatan kota Brussels tangal 22 Januari 2017 lalu ada yang aneh dengan struktur mobil baru.
Setelah berbincang dengan petugas didapati informasi bahwa mobil itu diperuntukkan kepada mereka yang cacat dengan harga yang sangat terjangkau. Mobil bukan sebuah konsumsi kelas elit saja, tapi negara juga menfasilitasi orang-orang cacat untuk menikmati fasilitas sama.
Lalu bagaimana dengan agama dalam relasinya dengan ekonomi dan politik. Agama bersifat inward looking, ajarannya bertujuan untuk membangun pribadi yang qualified untuk keselamatan diri masing-masing pengikutnya.
Aksi-aksi yang dimunculkan dari tindakan dan perilaku ekonomi dan politik yang disinari nilai agama menjadi baik, jika semua aktor ekonomi dan politik terus menjadikan anjuran agama sebagai sandaran pembangunan.
Sebagai negara multicultural dan multi religius, Indonesia dihuni oleh berbagai pemeluk agama yang memiliki ajaran luhur, petunjuk bagi pemeluknya. Apabila agama diyakini tidak kacau, maka sudah barang tentu setiap pemeluk agama menjaga keselamatan dirinya tanpa dapat mewakili keselamatan orang lain.
Dalam konteks ekonomi, jika setiap orang beragama mengikuti aturan konsumsi dan distribusi sebagaimana anjuran kitab suci, maka guncangan krisis sebagai akibat dari kesalahan produksi distribusi dan konsumsi serta spekukasi karena motif mendapat keuntungan yang lebih besar dapat meredam terjadinya krisis.
Karena itu, memahami ekonomi dan politik dalam pusaran agama mengandung arti mengedepankan kesadara diri (self awareness) yang dibentuk oleh kesadaran beragama (awarenes of religiusity) melalui aplikasi pemahaman ajaran agama dan menjadikannya sebagai guide line yang sangat penting bagi pembangunan sektor ekonomi dan politik dan sektor lain.
*(Guru Besar Ekonomi Islam dan Sekretaris Program Doktor Perbankan Islam Fakultas ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.)