KETIKA mendengar kata desa, ingatan kita pasti tertuju pada hal-hal yang menyenangkan; hamparan sawah yang hijau, sungai-sungai yang jernih airnya, kebun yang rindang, penduduknya yang ramah, dan sebagainya. Bayangan-banyangan tersebut menjadikan desa sebagai bagian yang tak terlupakan.
Akan tetapi, desa yang menjadi tempat tinggal impian sebagian orang kini menjadi sepi. Desa telah ditinggalkan sebagian penghuninya, generasi muda.
Generasi yang disebut-sebut sebagai generasi produktif ini berbondong-bondong pergi ke kota dengan menenteng harapan bisa hidup berkecukupan. Mereka menjadi buruh-buruh di pabrik, menjadi karyawan kantoran ataupun pertokoan dengan iming-iming gaji yang meyakinkan.
Sementara itu para pemodal mulai melirik desa untuk dijadikan ‘sapi perahan’ baru. Desa yang sebelumnya sudah terbelakang dalam pembangunan, menjadi semakin terbelakang akibat ditinggalkan oleh anak mudanya. Desa kemudian hanya dieksploitasi tanpa diperhatikan upaya pengembangannya.
Pada tahun 2014, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengalokasikan dana kepada desa melalui kabupaten. Digelontorkannya dana desa sejalan dengan visi pemerintah untuk membangun Indonesia dari desa, dan kebijakan ini menjadi harapan baru untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Yang kemudian menjadi persoalan adalah apalah artinya digelontorkannya dana desa jikalau desa ternyata tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup dan cakap untuk mengelolanya? Desa telah kehilangan pemudanya. Yang tersisa, hanyalah generasi tua yang memasuki usia tidak produktif.
Dana desa yang jumlahnya ratusan juta hingga miliaran rupiah tiap desa itu, tentu perlu pengawasan yang memadai sehingga masyarakat bisa memastikan penggunaannya tepat sasaran dan efisien. Karena, apabila kita mencermati pemberitaan di media, sudah ada sejumlah penyelewengan yang dilakukan kepala desa terhadap dana desa ini. hal ini tentu sangat ironis, padahal banyak hal yang harus dilakukan dengan dana tersebut, mulai dari pengentasan kemiskinan, perbaikan fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur. Karena penyalahgunaan itu, berdampak pada tersendatnyan pembangunan desa.
Persoalan ini tentu mengkhawatirkan dan tidak bisa dibiarkan. Jangan-jangan dana desa bukanlah solusi dari masalah yang ada, malah menimbulkan masalah yang baru. Lalu, apa yang bisa dilakukan anak-anak muda seperti saya?.
Desa memerlukan tenaga-tenaga muda. Desa membutuhkan pemikir-pemikir yang bersih, tidak korup dan memiliki inovasi dan kreativitas. Desa membutuhkan orang-orang cerdas yang tak mudah terbawa arus intrik politik desa.
Anak muda perlu mengawal dan mengawasi dana desa yang jumlahnya tidak sedikit tersebut agar bisa dipastikan manfaatnya bisa dirasakan oleh semua masyarakat desa. Dengan pengelolaan dana desa yang baik akan memperlancar pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Penulis: Ahmad Muzakky Al Hasan, Peserta Workshop Jurnalisme Warga Antikorupsi, Bali