PALANGKA RAYA – Koordinator lapangan (Korlap) Aksi Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Universitas Palangka Raya (UPR) Ali Assegaf mengatakan pada tanggal 10 April 2017, akan merapatkan barisan, bersatu meminta agar Rektor Kampus UPR mundur dari jabatannya.
“Aksi ini murni garakan mahasiswa Universitas Palangka Raya yang sangat menginginkan perubahan di kampus tercinta. Maka dari itu mari kita rapatkan barisan, perkuat kemauan, bersatu untuk pembenahan,” ujarnya kepada beritasampit, (6/4/2017).
Seruan aksi besar-besaran menuntut Rektor untuk mundur sudah disampaikan pihaknya melalui rilis dan telah tersebar luas di media sosial. Disebutkan, aksi besar-besaran ini dilakukan karena pada saat pihaknya meminta penjelasan pihak kampus terhadap permasalahan yang dihadapi mahasiswa termasuk uang kuliah tunggal (UKT) pihak kampus terkesan menutupi bahkan diam.
Sehingga KBM UPRmenggerakkan ratusan mahasiswa dalam satu barisan menuju gedung Rektorat tepat pada 27 Maret lalu, memutuskan untuk audiensi terbuka 1 April 2017.
Namun sayang, audiensi tersebut berakhir dengan kerusuhan yang dipicu oleh salah satu mahasiswa yang ditarik pihak kemanan rektorat saat hendak meminta waktu lagi karena waktu yang diberikan terlalu singkat.
Belum usai tragedi pemukulan hilang dari hiruk pikuk perbincangan mahasiswa, kini kembali lagi dicengangkan dengan Peraturan Rektor Universitas Palangka Raya. Pimpinan universitas semakin memperjelas matinya demokrasi dilingkungan kampus.
Pasalnya ada beberapa poin yang urgent diperaturan tersebut, mengundang risih dan pilu saat membacanya. Salah satu poin pelarangan kepada mahasiswa iala dilarang : “menyampaikan dan melaporkan segala kebijakan perguruan tinggi kepada pihak luar kampus”.
Poin tersebut memperkuat pandangan mahasiswa dan khalayak luas bahwa pimpinan yang seharusnya demokratis justru menjadi seorang yang anti kritik. Sebelum aksi 24 Maret 2017, pihak Rektor sebagai terlapor disidang dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM UPR) sebagai pelapor di Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Tengah.
Belajar dari pengalaman tersebut, Rektor semakin memperlihatkan wujudnya bak rezim ORDE BARU. Selang beberapa hari setelah audiensi berakhir, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) mendapat kiriman paket sarana yang dapat mendukung kegiatan mahasiswa.
Tidak lain lagi, yang mengirim adalah pihak Rektorat. “Lalu apa penilaian kita, tentu itu semua merupakan sogokan dalam upaya pembungkaman suara mahasiswa,” ucap Ali. Tidak hanya itu, beberapa organisasi internal kampus lainnya juga merasa ada yang berbeda. Saat mereka mengajukan usulan dana kegiatan, respon pihak Rektorat sangat cepat untuk membantu.
Hal ini tidak seperti biasanya, dg sistem lempar sana lempar sini. Melalui Aksi dan audiensi, dampak gerakan mahasiswa begitu terasa (meski sarat akan pembungkaman). ” Tenrunya, jangan sampai idealisme kita sebagai mahasiswa tergadaikan,apa lagi hnya dg barang yg tak seberapa nilainya. Jika hanya dengan ratusan massa kita dapat menggoyahkan Rektor. Maka dengan ribuan massa kita dapat merobohkan sistem yang tidak berpihak kepada mahasiswa,” pungkasnya.
(dsz/beritasampit.co.id)