Oleh: H. Joni.***
Menarik, tanggapan Menteri Pertanian Amran Sulaiman atas Resolusi Parlemen Uni Eropa atas standar seritikasi baru dari Crude Palm Oil (CPO) alias produk minyak kelapa sawit.
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu berselang Parlemen Uni Eropa, yang merupakan kumpulan dari negara Eropa mengeluarkan Resolusi tentang sertifikasi produk sawit dan pelarangan bio diesel berbasis sawit.
Di dalam bahasa awam, resolusi itu intinya adalah pembatasan ekspor CPO ke Eropa. Di samping permintaan peningkatan kualitas produk dimaksud. Demikian pula tentang larangan memproduksi minyak bio disel yang berasal dari kelapa sawit. Hal ini menyebabkan menurunnya volume ekspor ke negara anggota Uni Eropa, di samping keharusan untuk meningkatkan kualitas serta terhambatnya upaya memproduksi minyak bio disel dari sawit.
Dalam penilaian yang lebih bersifat politis, bahwa menurut parlemen Uni Eropa, produk berupa CPO atau minyak kelapa sawit masih menciptakan banyak masalah. Mulai devorestasi, korupsi pekerja anak anak sampai pelanggaran Hak Asai Manusia (HAM). Dinyatakan bersifat politis, karena selama ini Indonesia memiliki standar seritifikasi sendiri untuk produk sawit dan turunannya, dikenal dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Bahkan bersama Malaysia membuat standar dimaksud yaitu Roundtable Ustainable Palm Oil (RUPO).
Refleksi dari Persaingan
Bahwa pada dasarnya perkembangan dari pengelolaaan industri sawit mulai populer sejak awal abad ini senantiasa memicu polemik. Polemik itu pada prinsipnya merupakan akibat dari persaingan ekonomi, khususnya ekonomi global yang melibatkan negara maju dan negara berkembang. Secara potensial produk dari kepala sawit dari negara berkembang memang relatif lebih baik dari produk negara mau yag nota bene kesuburan tanahnya mash jauh berada di bawah negara bekembang khususnya negara asia, lebih khusus lagi Indonesia dan Malaysia.
Dalam perspektif ini ibarat aliran air maka di hulunya ada dua kepentingan yaitu kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologi. Dua hal yang mestinya bisa diakomodasi bersamaan kendatipun formulasinya masih harus dicari dan didiskusikan bersama.
Kepentingan ekologi, misalnya dengan tudingan bahwa karena pemberdayaan kelapa sawit itu maka terjadi devorestasi atas hutan. Terjadi alih fungsi lahan yang berarti pembabatan hutan untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit. Pada hal kondisi dan kinerja yang sama juga dilakukan olehj industri sawit di Eropa.
Di dalam bahasa ekologis, apapun yang dilakukan terhdap tanah akan menyebabkan turunnya kualitas. Menyebabkan terjadinya devorestasi terhdap tanah. Dalam bahasa awam menyebabkan turunnya tinghkat kesubuaran tanah. Ini sebagai sesuatu yang wajar dan memang harus terjadi sebagai konsekuensi dari pengelolaan atas fisik tanah.
Oleh karena itu sebenarnya rdsolusi itu harus dipandang sebagai semacam teknik untuk menekan negara Indonesia dan Malaysia karena kalah bersaing, baik dalam hal kualitas produk apa lagi jumlah atau kuantitas produk. Persaingan yang konkretnya adalah persaingan dalam dimensi ekonomi yang apa bila ditarik lebih ke hulu akan mempergunakan berbagai cara untuk memenangkannya.
Bahwa pada dasarnya peningkatan produksi minyak sawit Indonesia yang sangat cepat sehingga secara telak telah mengalahkan negara pesaing di Eropa. Hal ini berarti hal itu mengancam industri sawit di Amerika dan Eropa pada umumnya. Sebagai bangsa yang merasa lebih senior dalam sela hal tentunya mereka tidak mau kalah atau dikalahkan. Berbagai cara dilakukan untuk menghambat pesaingnya (Indonesia dan Malaysia) sehingga kepentingan mereka tetap terjaga dan terjamin kelangsungannya.
Sebagai semacam upaya untuk bertahan dan kiat untuk bersaing, kemudian negara Barat melakukan kampanye buruk mengenai minyak sawit di Indonesia, baik dari segi kualitas, dan akibat dari industri dimaksud baik dari sisi lingkungan hidup maupun kinjernya yang didasarkan pada pelanggaran HAM beserta terjadinya penurunan kualitas tanah. Tidak hanya itu, juga dimunculkan adanya alih fungsi hutan sebaai paru paru dunia untuk kepentingan kepala sawit yang dinilai mengganggu kualitas lingkungan hidup dunia.
Kampanye non struktural nampaknya tidak berhasil. Barulah kemudian ditempuh melalui mekanisme parlementer dengan melakukan berbagai upaya formal, seperti resolusi dimaksud. Paling tidak hal ini dinilai sebagai satu upaya yang lebih halus dan membawa akibat lebih signifikan dalam hal menghambat perkembangan industri sawit di tanah air.
Mencermati hal ini, kiranya kita harus bersikap diam dan tidak diam. Diam dalam arti membiarkan saja resolusi seperti itu untuk tidak dihiarukan. Ibarat pepatah biarkan anjing menggonggong, kafilah teta berlalu. Ini yang disebut dengan sikap diam.
Tidak tinggal diam, dalam arti terus mengembangkan berbagai upaya meningkatkan produk CPO. Baik kualitas produk maupun penataan lingkungan yang memang masih banyak yang harus dibenahi. Substansi resolusi itu tidak menyurutkan langkah Indonesia secara umum, dan para industriawan kelapa sawit untuk terus meningkatkan kualitas kinerja. Misalnya berkaitan dengan pekerja anak, jam kerja, kepemilikan lahan masyarakat adat dan sebagainya.
Kesemuanya itu memang masih memerlukan pembenahan. Inilah yang harus dilakukan untuk tidak tinggal diam dalam kinerja perbaikan industri kelapa sawit. Tidak kalah petingnya dukungan dari pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk terus memberikan berbagai fasilitas yang dapat meningkatkan baik kualitas dan kuantitas produk kepala sawit.
Semenmtara itu tidak kalah pentingnya juga teus melakukan lobi internasional, melalui berbagai upaya. Intinya bahwa pengelolaan CPO Indonesia memenuhi standar internasional baik dari segi proses produksi maupun hasil produksinya sendiri. Dengan demikian resolusi dan berbagai hal yang dilakukan untuk menghambat industry CPO di tanah air dipadang sebagai tantangan yang justru menjadi peluang untuk terus maju.***.
*** Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengamat Sosial Tinggal di Sampit