Menunggu DPR Baru yang Lebih Merakyat

Adista Pattisahusiwa

Oleh: Adista Pattisahusiwa

Kalau tak ada aral melintang, ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia akan memandu pelantikan 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terpilih untuk periode 2024- 2029 pada awal Oktober 2024.

Setelah dilantik, mereka memiliki legalitas sebagai anggota DPR yang berarti pula mereka sah menjadi wakil rakyat.

Sebagai wakil rakyat, setiap anggota DPR adalah ‘petugas’ kedaulatan rakyat yang mereka sejatinya terus mengemban tugas kerakyatan dan setiap hendak mengambil keputusan yang fundamental tentu harus berkonsultasi dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Berdasar UUD 1945 Pasal 20A, anggota DPR diwajibkan melaksanakan tiga fungsinya, yaitu Legislasi, Anggaran dan Pengawasan. Dalam dan melalui tiga fungsi tersebut melekat pada anggota DPR kepentingan-kepentingan rakyat.

Dengan demikian, ketiga fungsi tersebut harus bisa dimaksimalkan untuk menggali serta mengidentifikasi kebutuhan dasar rakyat termasuk hak rakyat sebagai bangsa sekaligus sebagai warga negara.

Dalam konteks fungsi dan tugas itulah para anggota DPR harus menghadirkan peraturan perundang-undangan. Peraturan yang mampu memayungi terhadap segala upaya pemenuhan, pengelolaan dan perlindungan kentingan rakyat yang berbeda-beda.

Kemudian, harus berlanjut dengan memberi pengawasan terhadap pelaksanaannya yang diselenggarakan oleh lembaga kekuasaan eksekutif.

Hanya saja fungsi tersebut harus memiliki tujuan agar tidak ada penyimpangan dalam realisasinya. DPR harus memastikan bahwa segala kepentingan rakyat diperhatikan selamanya dengan tetap bersikap kritis pada pemerintah.

Itulah secercah harapan kepada wakil rakyat yang baru. Mimpi serta ekspektasi yang masih wajar meskipun lembaga legislatif tersebut tidak terlepas dari berbagai kritikan atas kinerja mereka yang belum menggembirakan.

Potret kinerja dan kontroversi DPR
berdasarkan hasil survei Litbang Kompas periode Juni 2024 yang dikeluarkan baru-baru ini menunjukkan kepercayaan terhadap DPR membaik dan memperoleh angka 62,6 persen.

BACA JUGA:  Idul Adha Kali Ini Jadi Momentum Pengorbanan untuk Membantu Rakyat Palestina

Lembaga legislatif itu mencatat peringkat keenam dari total delapan lembaga negara yang disurvei. Survei tersebut sekaligus menunjukkan membaiknya persepsi publik terhadap lembaga DPR pada kurun waktu tertentu.

Akan tetapi survey tersebut tidak memotret kinerja DPR secara umum selama hampir lima tahun masa kerja mereka yang akan segera berakhir pada Oktober tahun ini.

Banyak kontroversi dan dinamika berbau amis dalam proses pembuatan legislasi yang tercium.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan kepercayaan publik yang cukup menyesakkan banyak pihak. Penurunan kepercayaan itu salah salah satunya dipicu oleh kesan ketertutupan serta ketergesaan anggota DPR dalam mengesahkan revisi undang-undang.

Mereka juga tercatat membahas sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU) yang penuh kontroversi. Sejumlah RUU tersebut diduga lahir dari hasil ‘perselingkuhan’ yang melibatkan nafsu kekuasaan dan ideologi tertentu.

Walhasil, RUU menjadi jabang bayi legislasi yang sarat dengan transaksi titipan-titipan pasal antara berbagai kekuatan, termasuk kekuatan pencari rente. Ini tentu bertolak belakang dengan fitrah anggota DPR yang identik dengan usaha-usaha menjembatani kepentingan rakyat.

Jangan disalahkan kalau ada persepsi yang berkembang bahwa DPR periode 2019-2024 merupakan parlemen yang manut pada kekuasaan pemerintah.

Sebagai contoh, ada revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 30 Tahun 2003 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 yang penuh drama dan kontroversi.

Undang-undang tersebut tetap berlaku setelah aksi protes marak dilakukan berbagai kalangan karena DPR dinilai tidak mendengar masukan publik. Mahkamah Konstitusi (MK) pun memutuskan menolak permohonan uji materi atau judicial review terhadap UU KPK yang diajukan Tim Advokasi UU KPK.

Pada bagian lain, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) juga menggambarkan betapa DPR tidak berdaya berhadapan dengan pemerintah.

BACA JUGA:  Percepat Elektrifikasi Nasional, Mukhtarudin Dukung PMN Untuk Program Listrik Desa

Karena itulah melemahnya kekuatan DPR sebagai kekuatan penyeimbang di parlemen, yang menjadi indikator utama kemunduran demokrasi, terus mendapat sorotan publik.

DPR Baru, Harapan Baru

Bagaimanapun juga, sorotan maupun kritikan masyarakat yang dilontarkan terhadap DPR seharusnya menjadi penyemangat bagi para anggota DPR yang akan dilantik nantinya.

Kritik tersebut menjadi “pekerjaan rumah” yang serius bagi seluruh anggota DPR.
Akan tetapi, dibutuhkan penyelesaian agar dapat segera memulihkan kembali kepercayaan publik bahwa DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat, bukan Dewan Pengkhianat Rakyat.

Salah satunya adalah bagaimana mereka berpegang pada sumpah jabatan anggota DPR yang disampaikannya ketika prosesi pelantikan.

Mereka bersumpah akan menjalankan kewajiban dan bekerja dengan bersungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi. Mereka juga wajib mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi. Sumpah jabatan di atas merupakan bentuk dari janji politik.

Suatu ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk mewujudkan kepentingan umum. Karena itu, dibutuhkan usaha yang konsisten. Yaitu, kemantapan dan keselarasan antara hati, pikiran dan perilaku dengan penegakan kehidupan demokrasi dan selalu memperjuangkan aspirasi rakyat.

Hanya dengan konsisten pada janji politik, anggota DPR akan memiliki imun dari segala godaan hasrat nonpolitik, yakni keinginan dan harapan hanya untuk merengkuh keuntungan sebesar-besarnya bagi pribadi, keluarga dan golongan.

Demikian juga dengan konsisten melaksanakan janji politik, untuk itu saya berharap anggota DPR RI periode 2024-2029 ini harus benar-benar menjadi wakil rakyat yang sejati, tidak akan tergoda dan mudah berpaling menjadi wakil golongan tertentu, terutama golongan kapitalisme.

(**)