Oponi oleh: Wira Prakasa Nurdia
BELAKANGAN ini mengemuka kembali apa yang jamak kita dengar sebagai masyarakat Kotawaringin Timur (Kotim) tentang narasi lama yang tiba-tiba terasa segar: Kenapa pemilih terbanyak dari Kotim, tapi tidak jadi gubernur?
Narasi ini memang tidak diucapkan dengan suara keras, lebih banyak di obrolan-obrolan ringan baik di WhatsApp maupun saat kumpul keluarga lebaran kemarin. Biasanya muncul pelan-pelan saja, dibungkus dalam bentuk keheranan atau keluhan. Tapi nadanya cukup jelas, seolah-olah jumlah pemilih di Kotim itu adalah semacam tiket sah untuk merebut kursi nomor satu di provinsi.
Tetapi sependek pengamatan kecil saya waktu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berlangsung, nyaris tak ada yang menjadikan asal daerah sebagai isu utama. Tapi begitu hasil tak sesuai harapan sebagian orang, baru mulai terdengar nada kecewa yang dibalut semangat sektoral.
Kita perlu bicara jujur. Memang, Kotim punya jumlah pemilih terbesar di Kalteng. Dan benar juga, potensi ceruk elektoral dari situ sangat besar. Bahkan figur asal Kotim ikut bertarung langsug, Supian Hadi, mantan Bupati Kotim dua periode yang maju sebagai calon Wakil Gubernur. Sayangnya, suara rakyat berkata lain. Artinya, pemilih termasuk dari Kotim sendiri tidak hanya melihat asal-usul. Mereka punya pertimbangan lain, dan itu sah-sah sajakan dalam demokrasi?
Jadi, apakah itu berarti ada ketidakadilan? Tentu tidak. Justru di sinilah kita diuji untuk tidak menyederhanakan demokrasi hanya menjadi urusan asal daerah. Kalau sistemnya giliran atau jatah wilayah, kita tak perlu capek-capek bikin visi-misi, cukuplah buat kalender rotasi atau bergiliran tiap kabupaten.
Demokrasi sejatinya bukan soal siapa dari mana, tapi siapa menawarkan apa. Jabatan publik bukan soal domisili, tapi soal kapasitas. Pemimpin bukanlah ditentukan oleh jumlah warga sekabupaten, sekampung, tapi oleh seberapa luas kepercayaan yang bisa ia bangun dari seluruh penjuru daerah.
Lagipula, kalau mau jujur, apa ia pemimpin dari Kotim pasti akan lebih peduli pada Kotim? Kita sudah sering melihat pemimpin yang begitu duduk di kursi kekuasaan, justru lupa pada daerah asalnya. Sebaliknya, ada juga pemimpin dari daerah lain yang justru memberi perhatian lebih besar pada wilayah yang bukan kampung halamannya. Jadi, harapan bahwa asal daerah menjamin keberpihakan itu sangat rapuh dan seringkali cuma ilusi politik.
Bagi saya yang paling mengkhawatirkan dari narasi ini adalah cara berpikirnya yang bisa merusak logika publik. Seolah-olah jabatan adalah warisan yang bisa dituntut hanya karena merasa punya jumlah suara besar. Padahal, kalau semangatnya seperti itu, kita hanya sedang memelihara politik sektoral, bukan memperkuat demokrasi. Kita justru sedang menggiring masyarakat untuk memilih karena asal-usul, bukan karena visi. Benar kan?
Kabupaten Kotim dengan semua potensinya, bisa mengambil peran yang jauh lebih elegan dalam politik Kalteng. Tidak dengan menuntut JATAH tapi dengan menyiapkan kader terbaik, membangun pengaruh, dan menawarkan gagasan besar yang bisa diterima semua kalangan. Kalau nanti memang lahir pemimpin dari Kotim yang dipilih bukan karena WAJIB tapi karena LAYAK maka itu jauh lebih membanggakan.
Jadi, kalau pertanyaannya: haruskah Kalteng dipimpin orang Kotim? Jawabannya sangat bisa, tentu saja. Tapi tidak harus. Karena dalam demokrasi, asal-usul itu cuma bagian kecil dari identitas. Yang paling penting tetaplah kemampuan untuk memimpin, merangkul, dan berpihak pada kepentingan rakyat semua rakyat, bukan hanya mereka yang sedaerah.
Meskipun saat ini bukan tahun politik, pemahaman semacam ini penting untuk terus ditanamkan. Karena cara kita berpikir hari ini akan menentukan kualitas demokrasi kita di masa depan. Jangan sampai kita mewariskan kepada generasi berikutnya cara pandang sempit, bahwa jabatan publik adalah soal giliran daerah bukan soal kapasitas dan gagasan.
Penulis merupakan anggota MD Kahmi Kotim