PALANGKA RAYA – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng) menyampaikan keprihatinan mendalam atas belum disalurkannya Dana Bagi Hasil (DBH) oleh pemerintah pusat.
Utang DBH yang mencapai hampir Rp1 triliun dinilai menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan daerah.
Wakil Gubernur Kalteng, H. Edy Pratowo mengungkapkan bahwa dana tersebut seharusnya sudah diterima daerah, terutama sisa kurang bayar DBH tahun 2023 yang telah memiliki dasar hukum melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
“Untuk tahun 2023, nilainya sekitar Rp625 miliar dan itu sudah ada PMK-nya, artinya sudah sah sebagai utang pemerintah pusat. Tapi hingga saat ini belum juga disalurkan,” ujar Edy saat ditemui di Kantor Gubernur Kalteng, Selasa, 15 Juli 2025.
Selain itu, lanjut Edy, pemerintah pusat juga masih menunggak hasil rekonsiliasi DBH tahun 2024 sebesar lebih dari Rp300 miliar. Namun hingga kini, PMK sebagai dasar penyaluran dana belum juga diterbitkan.
“Total potensi DBH yang belum diterima Kalteng bisa tembus lebih dari Rp1 triliun. Ini sangat mempengaruhi kemampuan fiskal kita, terutama dalam membiayai program-program prioritas daerah,” tegasnya.
Edy menyebutkan bahwa dana tersebut sangat dibutuhkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur dasar, pelayanan kesehatan, pendidikan, serta program pemberdayaan masyarakat di berbagai kabupaten/kota.
“Mestinya anggaran itu bisa langsung kita gunakan untuk mempercepat pembangunan. Tapi karena belum cair, banyak program yang terhambat atau bahkan tertunda,” katanya.
Untuk menyuarakan persoalan ini, Pemprov Kalteng bersama 11 provinsi penghasil sumber daya alam (SDA) lainnya telah menggelar Rapat Koordinasi Gubernur di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu, 9 Juli 2025.
Rapat yang bertajuk “Sinergi Daerah Penghasil Sumber Daya Alam untuk Menggali Potensi Dana Bagi Hasil Sektor Pertambangan dan Kehutanan Guna Penguatan Fiskal Daerah” tersebut bertujuan memperjuangkan keadilan pembagian DBH dari sektor Minerba dan kehutanan.
“Kita mendorong agar pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden, bersikap lebih adil dan transparan terhadap daerah penghasil. Jangan sampai kita hanya jadi penyumbang penerimaan negara tapi tidak mendapatkan hak secara proporsional,” ungkap Edy.
Ia mengingatkan, daerah seperti Kalimantan Tengah merupakan kontributor besar dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), khususnya dari sektor pertambangan, perkebunan, dan perhutanan.
Namun realisasi DBH yang diterima daerah dinilai tidak sebanding dengan kontribusi tersebut.
“Kalteng itu masuk tiga besar penyumbang PNBP, setelah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Tapi yang kembali ke daerah hanya sepersekian persen. Ini harus diperbaiki,” tandasnya.
Ia menambahkan, di tengah tekanan fiskal nasional, daerah justru semakin bergantung pada dana transfer pusat.
Namun, jika hak-hak dasar seperti DBH saja tidak disalurkan tepat waktu, maka pembangunan di tingkat daerah akan terus mengalami hambatan.
Rapat koordinasi tersebut diikuti oleh 12 provinsi penghasil SDA, yaitu: Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Riau, dan Maluku Utara.
(Sya’ban)