SAMPIT – Perjuangan panjang Fadlian Noor, mantan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), akhirnya membuahkan hasil. Ia dinyatakan menang dalam gugatan praperadilan terhadap Kejaksaan Negeri Kotim yang diduga menangkap dan menahannya tanpa dasar hukum yang kuat.
Kemenangan ini diumumkan dalam sidang di Pengadilan Negeri Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Dalam putusannya, majelis hakim menyebut tindakan Kejaksaan yang melakukan penangkapan, penahanan, hingga penuntutan terhadap Fadlian Noor sebagai tidak sah secara hukum.
Tak hanya itu, majelis hakim juga mengabulkan sebagian permohonan Fadlian dan mewajibkan Kejaksaan untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang dialaminya. Putusan ini sekaligus menjadi preseden penting dalam penegakan hak-hak warga terhadap aparat penegak hukum.
“Pengadilan menyatakan Termohon telah melakukan tindakan tanpa alasan yang berdasar Undang-Undang terhadap diri Pemohon,” bunyi amar putusan.
Sebagai konsekuensi atas tindakan tersebut, negara dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Keuangan selaku Turut Termohon, diperintahkan untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp25 juta kepada Fadlian Noor.
Gugatan yang diajukan merupakan langkah lanjutan setelah Fadlian dibebaskan dari tahanan pada awal Juli 2024.
Dalam bagian eksepsi, majelis hakim juga menyatakan bahwa keberatan atau eksepsi dari Turut Termohon tidak dapat diterima untuk seluruhnya. Sementara itu, permohonan Fadlian di luar poin-poin yang dikabulkan, dinyatakan ditolak.
Fadlian Noor sebelumnya menempuh jalur hukum dengan menggugat Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotim. Langkah ini diambil setelah ia menjalani masa penahanan selama lebih dari delapan bulan.
Gugatan tersebut diajukan sebagai bentuk upaya pemulihan nama baik dan tuntutan ganti rugi atas penahanan yang dialaminya.
Surat gugatan dan kuasa hukum resmi ditandatangani Fadlian pada Kamis, 5 Juni 2025. Ia menjelaskan bahwa masa penahanannya berlangsung sejak 18 November 2023 hingga 8 Juli 2024, yang dijalani di dua lokasi berbeda, yakni Lapas Kelas II Sampit dan Rutan Kelas II Palangka Raya.
“Ini adalah bentuk ikhtiar saya sebagai warga negara yang percaya pada jalur hukum. Saya ingin mengembalikan hak saya, terutama nama baik yang tercoreng akibat proses hukum yang pernah saya jalani,” ujarnya.
(Nardi)