Penulis : Maman Wiharja (Wartawan Senior-beritasampit.com)
Penulis sudah mengenal namanya Lembaga Pemasyarakatan (LP), sejak tahun 1963 saat masih kelas 3 SR (Sekolah Rakyat) di Janggala, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Jabar), karena rumah penulis persis di samping belakang LP atau berdekatan dengan lokasi para ‘pesakitan’ sekarang disebut warga binaan yang sedang menumbuk kulit kelapa untuk dijadikan tambang atau tali.
Pengamatan penulis, perkembangan LP dari tahun ketahun semakin maju. Namun dari era Presiden Soeharto hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), gaji para petugas LP cukup memprihatinkan. Bahkan penulis sempat mendengar keluhan dari salah seorang petugas LP di era Presiden SBY. Konon katanya, petugas LP hanya menjaga napi yang sudah kering kerontang karena muncul isu dikalangan calon napi, bahwa melalui pasal-pasal tertentu hukum itu bisa dibeli.
Misalnya salah seorang tersangka yang tertangkap penyalah gunaan narkoba. Pertama ditangkap oleh oknum petugas tertentu diminta sejumlah uang sampai ada yang 250 juta dengan dalih hukumannya bisa diperingan. Kemudian dilimpahkan ke intitusi hukum lainnya, sama juga si tersangka diminta sejumlah uang dengan dalih hukumannya lebih ringan. Selanjutnya, saat digelar sidang, oleh oknum tertentu lainnya dimintai sejumlah uang agar vonisnya tidak memberatkan. Nah, setelah putusan sidang kemudian si tersangka di jebloskan ke penjara LP, nampaknya sudah ‘kering kerontang‘.
Pengamatan penulis, sejak protokol komunikasi TCP/IP mulai dikembangkan sekitar tahun 1990an, nama internet menjadi lebih tersedia untuk masyarakat umum dengan layanan email, situs web pribadi, dan perusahaan e-commerce mulai bermunculan, bahkan sekarang keberadaan yang disebut (IT) semakin canggih. LP di seluruh Indonesia pun terlimbas oleh gelombang jaringan IT, termasuk di LP Kelas 2 B Pangkalan Bun. Pada 5 Juli 2025, sejumlah media online menayangkan berita yang mengungkap berbagai isu pelanggaran ‘Halinar’ (Handphone, Pungutan liar, dan Narkoba) hampir di semua LP di Seluruh Indonesia.
Karena muncul berbagai isu pelanggaran Halinar, kemudian sejumlah LP di Indonesia, mengundang pers untuk mengekpose kegiatan digelarnya Deklarasi Zero Halinar atau menciptakan Lapas Bebas dari Hand Phone, Pungli dan Narkoba.
Pengamatan penulis, yang namanya bentuk Deklarasi untuk menciptakan di dalam LP sebut saja ‘Aman’, sudah sejak dulu dilakukan. Tapi masih saja ada sejumlah pelanggaran yang terjadi.
Menurut sejumlah mantan Warga Binaan, dari hari kehari kehidupan di dalam LP cukup ironis. Semua serba diuangkan oleh oknum petugas LP. Air bersih untuk minum harus beli, pintu jendela kalau malam di buka harus bayar. Apalagi para koruptor kelas kakap sejumlah oknum penjabat pemerintah, sudah terbukti ditayang di TV, fasilitas dalam tahanan LP, bak sebuah hotel mewah.
Pengamatan penulis, sekarang maraknya pelanggaran Halinar mungkin atau cenderung akibat berbagai faktor, diantaranya karena di dalam LP kelebihan kapasitas (overcrowded ). misalnya 1000 WB dijaga oleh 16 orang petugas.
Penyebab utama overcrowded diduga akibat banyaknya jumlah kasus narkoba. Dan prihatinya, akibat kebijakan yang tidak komprehensif dalam menangani overcrowded sehingga pelanggaran Halinar diduga keras akan terus berlanjut.
Walhasil pengamatan penulis, dengan segera perlu dilakukan perubahan kebijakan dalam berbagai sistem peradilan pidana untuk mengurangi overcrowded dan pelanggaran Halinar. Khususnya bagi Kementerian Hukum dan HAM harus segera meningkatkan jumlah petugas LP. SEMOGA.(*)