
PULANG PISAU – Sidang perkara dugaan pemalsuan surat keterangan tanah (SKT) dengan terdakwa Kepala Desa Ramang, Ramba, memasuki babak akhir. Dalam persidangan ke-10 yang digelar Senin 28 Juli 2025, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan replik atas pledoi penasihat hukum terdakwa. Tim kuasa hukum langsung menyampaikan duplik, menilai replik jaksa tidak menyentuh substansi dan cenderung mengabaikan fakta hukum yang telah terang benderang di persidangan.
“Replik ini tidak menjawab keberatan kami, hanya mengulang tuntutan dengan narasi berbeda. Ini menandakan bahwa jaksa kehabisan dalih hukum,” tegas Haruman Supono, penasihat hukum terdakwa, seusai sidang.
Dalam pledoinya sebelumnya, Haruman telah menguraikan bahwa kasus ini seharusnya selesai di ranah administrasi, bukan pidana. Surat yang menjadi objek perkara telah dicabut melalui prosedur resmi, dan tidak menimbulkan kerugian atau konflik aktif. Namun, menurutnya, jaksa tetap memaksakan perkara ini masuk ke pengadilan.
Ia juga menekankan bahwa Ramba tidak pernah memalsukan dokumen, hanya menandatangani SKT yang telah disusun oleh perangkat desa atas permintaan warga.
“Fakta di persidangan jelas, Pak Ramba bukan aktor intelektualnya. Tapi malah beliau yang dijadikan terdakwa,” katanya.
Tak hanya itu, Haruman juga mengkritisi proses penyidikan yang menurutnya cacat prosedur. Ia menyebutkan adanya pencabutan laporan dari pihak pelapor yang tak pernah masuk dalam BAP, serta minimnya upaya klarifikasi dari pihak perusahaan yang menjadi pemicu kasus ini.
“Sejak awal ini error in persona. Jika penyidik bekerja secara profesional, perkara ini tak akan sampai pengadilan,” ujarnya. Haruman menduga ada intervensi kepentingan di balik ngototnya penuntutan kasus ini, karena melibatkan perusahaan besar yang bersengketa dengan warga.
Ia juga menanggapi pernyataan jaksa dalam replik soal ancaman lisan dari kepala desa.
“Itu tuduhan tanpa dasar. Bahkan dalam KUHP baru, pasal-pasal pengancaman lisan tidak lagi mudah dipidana karena rawan disalahgunakan,” terang dia.
Menurutnya, permasalahan ini berakar dari ketidakjelasan data Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan sawit PT AGL. Ia bahkan mengutip pernyataan Kasi Pemerintahan Desa Ramang dalam RDP DPRD, yang menyebut bahwa data patok dan batas lahan tidak pernah diberikan secara transparan oleh perusahaan.
“Warga ingin tahu batas HGU, lalu mengurus SKT secara legal, malah kepala desanya yang dijadikan tersangka. Ini pelecehan terhadap fungsi pelayanan publik di desa,” ucap Haruman.
Ia berharap majelis hakim memiliki keberanian moral untuk memutus bebas terdakwa. Jika sebaliknya, ia menyatakan siap mengajukan upaya hukum lanjutan.
“Jika diputus bersalah, sekalipun ringan, kami akan banding. Karena ini menyangkut prinsip. Tapi kalau diputus bebas, kami akan terima. Kami siap jika jaksa mengajukan kasasi,” katanya.
Sidang akan dilanjutkan Rabu, 30 Juli 2025 mendatang dengan agenda pembacaan putusan. Banyak mata kini tertuju ke meja majelis hakim, menanti apakah hukum bisa berpihak pada nurani dan akal sehat, atau justru kembali tunduk pada tekanan kekuasaan dan modal. (ds)