Pesan dari Ikon Jelawat

    Oleh: Ajid Kurniawan

    Dalam diplomasi, ada dua keahlian penting tapi langka: kemampuan untuk menggagas ide, dan kemampuan untuk menginovasikan ide tersebut. Tidak semua pejabat publik mempunyai salah satu, apalagi kedua, keahlian ini.

    Selama delapan tahun menetap di Sampit (Februari 2006 – Februari 2014), saya sering sekali membaca dan mendengar ide-ide cemerlang berseliweran dalam lalu lintas komunikasi publik. Namun, ide-ide tersebut hanya terucap di mulut, dicatat sebagai ide yang menarik dan berhenti di situ, tanpa ditindaklanjuti. Hanya segelintir ide yang ternyata bisa diwujudkan menjadi suatu inovasi baru.

    Proses antara menggagas dan menginovasikan ide adalah seni tersendiri. Pemimpin yang bisa menggagas ide kreatif dan kemudian menginovasikannya adalah inovator.
    Seorang pemimpin yang inspirasional juga harus mampu mengomunikasikan ide tersebut ke semua stakeholder. Ia harus memimpin pasukan untuk mendukung misinya, dan memiliki keteguhan untuk menghidupkan tujuannya dengan dukungan berkesinambungan.

    Supian Hadi, Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) memenuhi semua persyaratan itu. Jika ia tidak memiliki karakteristik di atas, ide membangun Patung Jelawat sebagai ikon Kota Sampit tak mungkin bisa diwujudkan.

    ***
    Wacana itu bermula dari agenda blusukan Bupati Kotawaringin Timur ke Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM). Dari mulut orang nomor satu di Bumi Habaring Hurung itu terlontar ide untuk membangun Patung Jelawat. Di hadapan awak media dan para pedagang PPM, detail konsep rencana pembangunan ikon Patung Jelawat dijelaskan.

    Seketika itu juga, pro dan kontra mencuat setelah wacana atau ide mengenai rencana pembangunan Patung Jelawat tersiar ke khalayak melalui media massa. Ada komentar yang menyatakan Supian Hadi terlalu banyak berwacana, tidak realistik, dan menilai pembangunan ikon Patung Jelawat bukan sebuah program yang harus diprioritaskan.

    Mereka mungkin tidak memahami bahwa semua kebijakan bermula dari wacana. Dari wacana itu akan diketahui ide mana yang dapat direalisasikan, dan mana yang disimpan di laci. Dari sekian banyak gagasan ide, SHD, short code Supian Hadi juga jeli memilih ide mana yang berpotensi dijadikan inovasi.

    Jika kemudian ide membangun ikon Patung Jelawat dipandang sebagai potensi yang harus diwujudkan, kepala daerah berlatar belakang pengusaha itu telah memiliki hitung-hitungan atas idenya tersebut.

    Gagasan untuk membangun ikon Patung Jelawat dilatarbelakangi atas pertanyaan: Mengapa Kota Sampit belum memiliki kekhasan atau identitas? SHD lantas memberikan contoh sederhana. Ketika orang membicarakan oleh-oleh khas berupa kerupuk pipih atau amplang, maka produk kuliner tersebut telah diklaim oleh Kabupaten Seruyan. Saat kekhasan kuliner Kota Sampit dipertanyakan, betapa sulit untuk menjawabnya.

    Dari situlah kemudian tercetus ide mengenai ikon atau city branding Kota Sampit berupa ikan Jelawat. Bahwa populasi ikan Jelawat juga tersebar di daerah lain, setidaknya Kota Sampit lah yang pertama kali menjadikannya sebagai ikon kota.

    Ibarat marketing korporasi, Kota Sampit harus ditentukan arahnya, positioning-nya di mana? Apa pembeda Kota Sampit dengan kota-kota lainnya? Maklum, di era otonomi daerah setiap daerah harus saling berebut satu sama lain dalam hal kue investasi. Kota Sampit membutuhkan brand kuat sebagai identitas. “Sulit untuk menjual Kota Sampit kalau orang tidak tahu Sampit, dan apa yang dijualnya,” kata SHD.

    Banyak manfaat akan diperoleh jika daerah memiliki city branding, misalnya bisa dikenal luas dan tentu mendapat persepsi baik. Tentu saja masih diperlukan usaha keras lainnya setelah Kota Sampit memiliki ikon berupa ikan Jelawat. Ikon Jelawat harus ter-diferensiasi dalam ragam produk semisal kuliner, konveksi, handycraft dan produk kreatif lainnya.

    Dengan begitu, multiplier effect ikon Jelawat akan terdistribusi pada masyarakat.
    Sudah setahun saya meninggalkan Kota Sampit. Dari media online, saya mengetahui jika ikon kota berupa Patung Jelawat telah diresmikan saat perayaan HUT ke-61 Kabupaten Kotawaringin Timur. Sungguh, saya jadi penasaran untuk melihatnya langsung. Untuk warga Kota Sampit, selamat memiliki ikon baru. ***

    (*Penulis tinggal di Balikpapan, mantan Pemred Radar Sampit, saat ini sebagai anggota Dewan Redaksi Kaltim Post)