Menanti RUU Kepulauan, Sinetron Birokrasi Tanpa Episode Akhir

Dok: TvR Parlemen.

Oleh: Adista Pattisahusiwa

Di tepi lautan Maluku yang biru memesona, ada sebuah kapal bernama RUU Daerah Kepulauan yang konon akan membawa kesejahteraan.

Sejak Deklarasi Ambon 2005, kapal ini sudah dijanjikan berlayar, membawa Dana Khusus Kepulauan, keadilan fiskal, dan harapan untuk 92,4% wilayah laut Maluku yang kaya ikan tapi miskin anggaran.

Dari Ambon ke Jakarta, RUU Kepulauan, perjalanan ini tak pernah tiba, hingga Mei 2025, kapal itu masih tertambat di pelabuhan birokrasi, karatan oleh janji-janji manis dan ombak diskusi tanpa ujung.

Masyarakat Maluku, dengan kesabaran tingkat dewa, terus menunggu, sambil bertanya: “Kapan ya, kapal ini bergerak, atau cuma jadi monumen?”

Bayangkan, Gubernur Hendrik Lewerissa, megafon di tangan, berteriak di Rapat Komisi II DPR RI April 2025, meminta formula DAU yang menghitung luas laut, bukan cuma daratan.

Ia seperti nelayan yang memohon ikan tak diangkut kapal asing lewat kebijakan penangkapan ikan terukur.

Tapi, di Jakarta, para pejabat seolah berkata, “Sabar, Pak, RUU-nya masih antre di spa harmonisasi regulasi!”

Harmonisasi? atau alasan untuk rebahan, mungkin mereka sedang menyelaraskan nada dering ponsel kementerian, sementara Maluku kehabisan napas menanti anggaran untuk jalan, rumah sakit, dan sekolah di pulau-pulau terpencil.

BACA JUGA:  Indonesia vs Jepang! Bukan Kekalahan Indonesia Tapi Kekalahan Erick Tohir Sebagai Ketua PSSI

Dua dekade menunggu, RUU ini seperti sinetron tanpa akhir. Masuk Prolegnas 2020, 2021, 2022, semua dengan pompa-pompa dukungan dari DPR.

Tapi, tiba-tiba di 2023, DPD RI mencabutnya dari usulan, entah karena lupa atau sengaja. Masyarakat Maluku cuma bisa geleng-geleng, seperti penonton yang kehabisan popcorn di tengah plot twist.

Sinkronisasi antar-kementerian katanya rumit, harmonisasi dengan UU Pemerintahan Daerah katanya pelik. Padahal, kalau urusan bagi-bagi kursi menteri, harmonisasi bisa selesai dalam semalam!

Maluku, yang menyumbang 30% ikan nasional, masih memancing dengan jaring bolong, PAD kecil, postur APBD Rp3,2 setelah efisiensi hanya tersisa Rp652 miliar, tapi Rp2,429 triliun dari transfer pusat.

RUU Daerah Kepulauan bisa jadi jaring baru, dengan Dana Khusus Kepulauan dan pengakuan hak adat atas laut. Tapi, kapal RUU ini seolah dikutuk, tiap mau berlayar, ada saja alasan, angin besar, ombak terlalu tinggi, atau “nanti dulu, ada RUU lain yang lebih urgent.”

Urgent? Mungkin RUU tentang warna seragam dinas lebih penting daripada nasib nelayan Maluku.

Sementara itu, masyarakat adat, nelayan, dan anak-anak di pulau kecil Maluku terus menatap horizon, berharap kapal RUU ini bukan fatamorgana.

BACA JUGA:  'Death to America', Dari Nyanyian Jalanan Teheran ke Darah di Pasir Timur Tengah

Mereka bukan cuma butuh ikan, tapi juga jalan, listrik, dan sekolah yang tak banjir saat musim hujan. Hendrik, dengan semangat “hidup basudara,” masih berjuang menggoyang birokrasi Jakarta.

Tapi, tanpa tekanan dari kita semua media, aktivis, atau bahkan petisi online ala anak milenial, kapal ini mungkin cuma akan jadi spot selfie baru di pelabuhan.

Jadi, mari kita tertawa pahit sambil menunggu. Mungkin, kalau RUU Daerah Kepulauan akhirnya disahkan, kita bisa adakan pesta besar di Teluk Ambon, dengan ikan bakar dan lagu “Rame-Rame.” Tapi untuk sekarang, ambil kursi, buka camilan, dan nikmati drama “Menunggu RUU Edisi Abadi, Sinetron Birokrasi Tanpa Episode Akhir”

Siapa tahu, di 2045, saat Indonesia Emas, kapal ini akhirnya berlayar, atau malah jadi warisan budaya UNESCO sebagai “Monumen Penantian Terlama.”

***