SAMPIT – Dugaan kelalaian dalam penanganan pasien di RSUD dr Murjani Sampit yang lambat dirujuk ke luar daerah berujung pada meninggal dunia, menuai sorotan tajam. Pengamat hukum Norharliansyah mempertanyakan mengapa pasien dalam kondisi kritis akibat penyumbatan jantung tidak segera dirujuk ke rumah sakit rujukan yang lebih memadai.
“Kok bisa 10 jam menunggu? Harus ada penjelasan kenapa menunggu selama itu. Penyakit jantung koroner itu kasus gawat darurat, harus ditangani cepat. Kalau hanya diberi oksigen saja tentu tidak cukup. Seharusnya langsung dipasang ring atau dirujuk ke RSUD Doris Sylvanus,” ujarnya, Selasa 22 Juli 2025.
Secara hukum, lanjutnya, lambannya tindakan merujuk pasien yang mengakibatkan kematian bisa dijerat Pasal 359 KUHP tentang kealpaan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, dengan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun.
Dalam KUHP baru (UU 1/2023) yang akan berlaku tahun 2026, kasus semacam ini diatur dalam Pasal 474 ayat (3). Selain itu, keluarga juga bisa mengajukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1370 KUHPerdata untuk menuntut ganti rugi.
“Yang paling penting adalah membuktikan adanya kelalaian dan hubungan langsung antara keterlambatan rujukan dengan kematian pasien. Keterangan ahli dan bukti medis akan jadi faktor penting dalam pembuktian,” ujar Norharliansyah.
Dalam kasus penyakit jantung dengan kondisi kritis, seharusnya pasien dirawat di ICU dengan pengawasan ketat dan peralatan lengkap.
“Secara jarak dan waktu, seharusnya masih memungkinkan untuk dilakukan rujukan. Kalau tidak dilakukan, patut dipertanyakan ada apa di balik ini semua,” ucapnya.
Ia juga menekankan, apabila ada indikasi malpraktik, maka secara hukum hal itu harus diproses agar tidak terjadi kesalahan yang sama di kemudian hari.
“Dalam dunia medis ada protap (prosedur tetap) yang menjadi acuan. Kalau itu tidak diikuti dan menyebabkan nyawa hilang, maka harus ada pertanggungjawaban secara hukum, baik pidana maupun perdata,” tegasnya.
Norharliansyah menjelaskan, dalam teori hukum, ada tiga dasar terjadinya malpraktik yakni pelanggaran kontrak, perbuatan yang disengaja (dolus), dan kelalaian berat (culpa lata). Untuk menelusurinya bisa dimulai dari rekam medis pasien, siapa yang menangani, siapa yang merekomendasikan rujukan, kapan tindakan dilakukan, serta bentuk saran medis yang diberikan.
“Rekam medis itu bisa dibandingkan dengan protap penanganan. Secara teknis, kejadian seperti ini banyak melanggar prosedur, tetapi praktiknya sering luput dari proses hukum karena dianggap lumrah oleh masyarakat,” ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, penantian panjang selama 10 jam di ruang rumah sakit berubah menjadi duka mendalam bagi seorang warga Sampit.
RN (29), salah satu keluarga pasien, mengungkapkan kekecewaannya terhadap lambatnya penanganan di RSUD Murjani Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Senin 21 Juli 2025.
Kisah tragis ini bermula saat RN membawa keluarganya yang sedang kritis ke RSUD Murjani sekitar pukul 18.30 WIB. Menurut RN, dokter yang menangani menyatakan pasien harus segera dirujuk ke Palangka Raya. Namun alih-alih segera diberangkatkan, mereka justru diminta menunggu hingga 10 jam lamanya.
“Kami sampai di rumah sakit sekitar pukul 18.30 WIB pada Minggu 20 Juli 2025, tapi pihak rumah sakit bilang keluarga saya harus di rujuk ke Pakangka Raya dan dirujuknya menunggu pukul 04.00 WIB,” kata RN.
(Nardi)