PALANGKA RAYA – Hukum adat Dayak kembali memperoleh pengakuan di ranah peradilan negara. Pengadilan Tinggi Palangka Raya membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sampit yang sebelumnya menyatakan putusan lembaga adat Dayak tidak sah dan tidak mengikat.
Putusan terbaru itu dibacakan pada Jumat, 25 Juli 2025, melalui amar Putusan Nomor 41/PT/2025/PT.PLK, yang mengabulkan permohonan banding dari pihak tergugat, dalam hal ini lembaga adat Kecamatan Tualan Hulu, Kotawaringin Timur.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan gugatan yang diajukan PT Hutanindo Agro Lestari (PT HAL) tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), baik dalam konvensi maupun rekonvensi. Dengan demikian, keputusan adat yang sempat dianulir oleh pengadilan tingkat pertama kini kembali berlaku dan mengikat secara hukum adat.
Salah satu Koordinator Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dayak Kalteng yang mengawal perkaranya tersebut, Erko Mojra, menyambut baik putusan tersebut.
“Nampaknya falsafah hidup ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ telah dijalankan dengan baik oleh Pengadilan Tinggi Palangka Raya. Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut memahami dan menjunjung tinggi budaya Huma Betang atau ‘Belom Bahadat’,” kata Erko, Minggu, 27 Juli 2025.
Sengketa ini bermula dari putusan Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Tualan Hulu, Nomor 01/DKA-TH/PTS/V/2024, tanggal 2 Mei 2024. Lembaga adat memutuskan sanksi terhadap PT HAL atas dugaan pelanggaran hukum adat. Namun dalam gugatannya ke PN Sampit, perusahaan menyebut putusan adat itu tidak sah.
Pada 29 April 2025, PN Sampit mengabulkan sebagian gugatan PT HAL dan menyatakan keputusan lembaga adat tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hakim bahkan memerintahkan pencabutan sanksi adat tersebut dan menyebut tindakan hinting adat yang dilakukan masyarakat sebagai perbuatan melawan hukum.
Putusan itu memicu penolakan dari masyarakat adat. Ratusan warga Dayak menggelar aksi damai di depan kantor Pengadilan Tinggi Palangka Raya pada 14 Mei 2025. Mereka menuntut agar lembaga peradilan negara menghormati eksistensi hukum adat sebagai kearifan lokal.
Gugatan PT HAL akhirnya dimentahkan di tingkat banding. Dalam amar putusannya, hakim menyatakan putusan PN Sampit batal dan tidak berlaku. Biaya perkara di dua tingkat peradilan juga dibebankan kepada PT HAL.
Penguatan terhadap legalitas hukum adat Dayak termuat dalam sejumlah regulasi, seperti Perda Provinsi Kalteng Nomor 1 Tahun 2010 serta Perda Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 6 Tahun 2012. Pasal 28 dan 31 dalam dua perda itu menegaskan bahwa putusan lembaga adat yang telah dijatuhkan di tingkat kecamatan adalah final dan mengikat para pihak.
Putusan adat yang disengketakan itu sebelumnya dibuat berdasarkan Peraturan Dewan Adat Dayak Kalteng Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Peradilan Adat Dayak, serta merujuk pada pasal-pasal Hukum Adat Dayak Tumbang Anoi 1894, hasil kesepakatan Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) tahun 2014.
“Putusan ini menjadi bukti bahwa hukum adat bukan sekadar warisan budaya, tapi juga bagian sah dari sistem hukum nasional,” ujar Erko.
Meski putusan belum berkekuatan hukum tetap (inkracht), menurut prinsip hukum, putusan hakim harus dianggap benar hingga ada pembatalan di tingkat kasasi (res judicata pro veritate habetur).
Erko juga menyampaikan apresiasi kepada berbagai pihak yang turut memperjuangkan tegaknya hukum adat di Kalteng.
“Kami ucapkan terima kasih kepada Gubernur Kalteng Agustiar Sabran selaku Ketua Dewan Adat Dayak, Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya, para tokoh adat dan semua elemen masyarakat yang turut memperjuangkan tegaknya hukum adat Dayak,” pungkas Erko.
(Syauqi)