Jodoh tak pernah salah

    Jodoh tak pernah salah

    Hari sudah siang, matahari semakin mempertontonkan keperkasaannya. Keperkasaannya itu sudah cukup membuat wajahku berminyak, terlebih lagi keringat melambai-lambai di keningku.

    Tapi belum juga hilang dari benakku tentang perbincangan dengan ibu tadi malam. Lagi-lagi ibu mendesakku untuk segera menikah, aku disuruhnya mencari calon suami. Jika tidak ada juga, aku harus menikah dengan Setya, lelaki yang dijodohkan denganku. Tapi jelas aku tak bisa, sebab hatiku diam-diam mencintai seorang lelaki, dan hingga kini aku pun tak pernah tahu apa yang ada di dalam hatinya, Farhan, lelaki yang diam-diam aku cinta semenjak kuliah semester awal.

    “Astagfirullah…!”aku terkejut, dan lamunanku pun buyar akibat supir angkot berhenti mendadak karena tidak memperhatikan lampu merah. Aku menahan tubuhku dengan memegang kursi yang diduduki supir dari belakang, kebetulan aku duduk pas di belakangnya.

    “Hati-hati dong pak! Yang bapak bawa ini bukan barang, tapi nyawa! Banyak lagi!”ketus salah satu penumpang angkot yang duduk di samping supir.

    “Iya, pak.. maaf pak, saya tidak sengaja.”jawab supir angkot sambil menundukkan kepalanya ke samping dan juga ke belakang meminta maaf kepada semua penumpang.

    Aku merasa lega karena tidak terjadi apa-apa saat itu. Siang itu aku ingin ke kampus, hanya ingin mengembalikan buku perpustakan yang sudah dua minggu kupinjam.

    ***

    “Assalamu’alaikum ukh, kok anti ada di kampus? Bukannya hari ini enggak ada jadwal kuliah ya?”tanya Farhan mengagetkanku, dia sedang melihat-lihat judul buku-buku yang berbaris di rak. Sepertinya dia juga ingin meminjam buku perpustakaan.

    “Wa’alaikumsalam akhi, iya ana cuma mau mengembalikan buku kok. Ini juga sudah mau balik.”jawabku dengan penuh rasa malu dan senang karena sudah disapa olehnya.

    “Ana duluan ya akhi, harus sampai di rumah sebelum dzuhur. Assalamu’alaikum”kataku sembari menundukkan sedikit kepalaku.

    “Wa’alaikumsalam ukh..”balasnya.
    Alhamdulillah..sholat dzuhur sudah kutunaikan, aku juga baru saja menghabiskan makan siangku. Kali ini aku ingin menjelajahi dunia maya, berharap mendapatkan info-info terbaru yang sedang hangat diperbincangkan dan tentu ingin menambah ilmu dan wawasan,tak lupa juga ingin bercengkrama dengan sahabat-sahabatku di jejaring sosial.

    Mataku tak sengaja tertuju pada satu username twitter, Farhan Ali, ternyata dirinya sedang kultwit tentang muslimah shalihah. Kusimak setiap kultwitnya, bukan karena aku suka padanya, tapi memang dia seorang ikhwan sholeh. Dia mampu menjaga etika pergaulan dengan lawan jenis, tidak sama dengan beberapa ikhwan yang terkadang suka modus kepada para akhwat. Dia mampu bersikap tegas, dan tentu saja ilmu agamanya cukup baik. Kalau saja aku bisa memilih, akan kupilih dia untuk jadi suamiku.

    Aku yakin banyak akhwat yang juga mencintainya dalam diam. Dan pasti sudah banyak akhwat yang memintanya untuk dijadikan istri olehnya, tapi sampai saat ini dia belum juga menikah. Tapi aku yakin, wanita yang dipilihnya kelak adalah muslimah shalihah, yang bidadari syurga pun cemburu padanya. Oh siapakah wanita yang beruntung itu?

    ***

    “Silahkan diminum tehnya, Nak Setya! Selagi masih hangat toh.”ibu menyodorkan secangkir teh hangat kepada Setya. Sore itu ia berkunjung ke rumahku, entah apa yang menjadi tujuannya datang kemari. Saat itu aku tidak bisa menemuinya, karena kepalaku sakit dan demamku semakin tinggi, jadi aku beristirahat di dalam kamar.

    “Iya makasih, bu. Bu, bagaimana selanjutnya? Apa Jihan sudah setuju? Kalau memang ia, InsyaAllah saya dan keluarga akan datang minggu depan untuk melamar Jihan.”tanya Setya tak lama setelah ia menaruh cangkir teh ke atas meja.

    “Maafkan ibu ya Setya,Jihan belum ngomong ke ibu soal keputusannya itu.Tapi ibu janji sebentar malam nanti ibu akan tanya jawaban dia,ibu jamin besok sudah ada keputusannya.Sabar ya Setya!”Ibu meyakinkan Setya.

    ***

    “Han.. kamu ini gimana sih ndok? Kasian Setya sudah hampir sebulan nunggu jawaban kamu. Apa sudah ada laki-laki lain yang mau melamarmu? Kamu ini anak bapak sama ibu satu-satunya. Mestinya kamu ngerti perasaan kami, kami sudah tua, sudah ingin menimang cucu!”ibu menceramahiku lagi tentang masalah yang sama.

    Tiba-tiba saja nafsu makanku hilang. Bibirku kaku, ada sesak yang mengunci nafasku rapat-rapat, sudah aku duga, kali ini ibu terlihat sangat jengkel kepadaku.

    “Sudahlah, bu! Coba beri waktu seminggu lagi untuk Jihan, siapa tahu toh Gusti Allah punya rencana lain untuk dia. Sekarang habiskan dulu makanannya.”ayah mencoba mencairkan suasana. Tapi rupanya tidak begitu berhasil.

    Mataku berkaca-kaca, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Sesak nafas semakin menggrogotiku, kakiku tiba-tiba menjadi lemas. Seminggu, ya seminggu lagi, ibu dan ayahku memberiku waktu seminggu lagi untuk mencari calon suami. Jika sampai seminggu lagi tidak ada lelaki lain yang datang melamarku, mau tidak mau aku harus menerima pinangan Setya.

    Aku ingin sekali lari masuk ke dalam kamarku, tapi aku tidak mau menyinggung perasaan kedua orang tuaku. Tidak lama kemudian, ibu lebih dulu meninggalkan meja makan.

    ***

    Tak henti-hentinya airmataku menetes, airmata hanyut dalam doa yang kulantunkan usai sholat tahajjud. Kali ini aku lebih tenang, hatiku sudah bisa menerima kenyataan kalau memang Setyalah yang menjadi jodohku kelak. Aku akan berusaha mencintainya setelah akad terucap, dan mencoba menjadi istri yang baik untuknya. Sudah kuputuskan untuk menerima lamaran Setya, besok akan kuberitahu kepada ayah dan ibuku.

    “Assalamu’alaikum, Han.’Afwan ya kalo mengganggu, ada seorang ikhwan yang ingin datang melamarmu, InsyaAllah kami akan datang ke rumahmu ba’da ashar ya, Han. Kamu dan keluargamu adakan di rumah?”terdengar suara yang tak asing bagiku, Ustadzah Wati meneleponku.

    “Wa’alaikumsalam, Ustadzah. Apa betul itu Ustadzah? Ya, ya tentu saja ustadzah. InsyaAllah aku akan mempersiapkan untuk menjamu kedatangan Ustadzah, aku juga akan menyampaikannya ke orang tuaku. Jazakillah khairan, Ustadzah”ucapku dengan hati berseri-seri, tak percaya dengan apa yang terjadi sekarang, hingga aku lupa menanyakan siapa ikhwan yang mau melamarku itu.

    “’Afwan ustadzah, kalo boleh tau siapa ikhwannya yang mau melamarku itu?”tanyaku penasaran sementara aku menggigit bibirku.

    “Namanya Farhan Ali, Han. Katanya dia sudah mengenalmu. Sebenarnya sudah jauh hari dia ingin melamarmu. Bahas ini nanti saja ya sebentar di rumahmu. Bagaimana? Kamu bersedia dia datang ke rumahmu?”papar Ustadzah Wati lagi, beliau adalah guru ngajiku, atau biasa dikenal dengan murabbiah.

    “Fa..Farhan, ustadzah? MasyaAllah…i..i..iya ustadzah, sekali lagi jazakillah khairan ustadzah”ucapku singkat, bibirku seketika kaku digerakkan. Aku sama sekali tidak percaya, apakah benar semua ini terjadi? Apakah hanya khayalan atau cuma mimpiku saja? Tentu saja saat itu yang aku rasakan hanya kegembiraan yang sulit kugambarkan, mataku pun berkaca-kaca haru bahagia. Lelaki yang selama ini aku cinta ternyata ingin melamarku, cinta dalam diamku. Segera kuberitahukan ke orang tuaku dan menyiapkan segala persiapan untuk kedatangannya.

    “Jihan, kamu mau enggak?”ayah bertanya padaku, inti dari pertemuan ini. Semua keputusan berada di tanganku, semua orang di ruangan ini menatapku dan menanti jawabanku. Farhan datang bersama kedua orang tuanya.

    Aku tak mengucapkan apa pun, aku hanya diam. Bukan karena aku bingung menjawabnya, tapi aku memutuskan untuk menerima khitbahnya, jadi aku putuskan untuk diam sebagai pertanda kalau aku menerimanya. Tanpa sadar tergores senyum simpul dari bibirku, aku tak berani menatap wajah Farhan.

    Ayahku berdehem, kedua orang tua Farhan tertawa kecil menggambarkan kebahagian. Aku bisa melihat Farhan dari sudut mataku sedang mengusap kedua tangannya ke wajahnya seraya mengucap syukur.

    ***

    “Zawjati.. sayang.. bangunlah! Sudah adzan subuh”seperti ada yang mendarat lembut di pipiku, suamiku menciumku, membangunkan untuk menunaikan sholat subuh berjama’ah.

    “Na’am zawjiy”gumamku sambil tersenyum dan segera bangkit untuk mengambil wudhu.

    Cintaku selalu bertasbih, bahagiaku tidak bisa tergambarkan. Aku telah hidup dengan orang yang selama ini aku cintai, dengannya, suamiku yang menjadi pelindung dan penyejuk hatiku. Seperti berada di taman bunga dengan ribuan bunga tulip dan puluhan kupu-kupu warna-warni saat musim semi. Sungguh tiada terkira bahagia yang kurasakan. Tak terasa air mataku jatuh menyentuh telapak tangannya saat ku cium tangannya.

    “inni uhibbuki fillah..yaa habibaty”ucap lembut suamiku, Farhan. Lalu ia mencium pipi merahku dan memelukku, air mataku mengalir terharu.

    Jodoh tak kan salah,,,ketika kau sematkan cintamu karena Illahi
    Jodoh tak kan salah,,,ketika egomu tak kau selipkan dalam doa
    Jodoh tak kan salah,,,ketika diri menjaga hati selama menanti
    Jodoh tak kan salah,,,ketika kau serahkan semua kepada-Nya

    *karya: Asiyah Sumayyah