Dua Tersangka Kasus KONI Terancam 9 Tahun Penjara

SYAUQI/BERITASAMPIT - Suasana sidang kasus korupsi KONI Kotim.

PALANGKA RAYA – Sidang dugaan korupsi di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) kembali berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palangka Raya, Selasa 3 Desember 2024.

Sidang tersebut beragendakan pembacaan tuntutan terhadap dua terdakwa, yaitu Ketua KONI Kotim, Ahyar, dan Bendahara KONI Kotim, Bani Purwoko.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Erhamudin, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah menuntut kedua terdakwa dengan pidana penjara selama 9 tahun.

Pembacaan tuntutan dilakukan secara bergiliran. Terdakwa Ahyar pertama kali mendengarkan tuntutannya, disusul dengan terdakwa Bani Purwoko.

JPU menuntut Ahyar dengan hukuman 9 tahun penjara, dikurangi masa tahanan yang telah dijalani, serta tetap ditahan. Selain itu, Ahyar dituntut membayar denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti lebih dari Rp10,3 miliar yang harus disetorkan ke kas negara.

“Apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa untuk menutupi kerugian tersebut, dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 3 bulan,” ujar Jaksa Sustine Pridawati.

BACA JUGA:  Dibawah Pengaruh Miras saat Pesta Pernikahan, Pria di Kotim Perkosa Seorang Wanita

Sementara itu, Bani Purwoko juga dituntut hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

JPU menilai kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Penasihat Hukum para terdakwa, Pua Hardinata, mengatakan akan mengajukan pembelaan atau pledoi atas tuntutan tersebut. Ia menyoroti beberapa poin yang dianggap janggal dalam proses persidangan, terutama terkait perhitungan kerugian negara yang mencapai lebih dari Rp 10 miliar.

Pua juga menjelaskan, adanya aliran dana sebesar Rp 7 miliar yang belum terungkap, dengan bukti transfer yang tercantum dalam berkas perkara nomor 103 dari Kejaksaan.

Dia juga mempertanyakan penggunaan saksi ahli dari sarjana teknik inspektorat dalam menghitung kerugian negara dalam kasus tersebut. Menurut dia, seharusnya ahli akuntansi yang dihadirkan sebagai saksi ahli mengingat kasus ini berkaitan dengan keuangan.

BACA JUGA:  Setengah Bulan Dilanda Banjir, Kades Rege Lestari Ambil Langkah Ini

“Kalau pekerjaan fisik bisa dihadirkan saksi ahli teknik, kalau ini kan bukan, jadi harusnya ahli akuntansi yang dihadirkan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Pua mengkritisi proses penyidikan yang dilakukan sebelum adanya penghitungan kerugian negara secara pasti. Ia merujuk pada Surat Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa kerugian negara dalam kasus korupsi harus nyata dan pasti.

Menurut Pua, perhitungan kerugian negara oleh auditor Kejaksaan Tinggi juga dianggap tidak sesuai dengan kaidah hukum. Ia mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016, yang menegaskan bahwa perhitungan kerugian negara harus jelas dan terkait langsung dengan tindak pidana (delik materiel).

“Dengan berbagai kejanggalan yang ditemukan selama persidangan, saya optimistis banding yang diajukan akan diterima dan mendapatkan keadilan bagi kliennya. Proses hukum pun akan berlanjut ke tahap selanjutnya,” pungkasnya.

(Syauqi)